Musyawarah Kerja Wilayah (Muskerwil) III PWNU Bali resmi dibuka. Bukan sekadar upacara tahunan, Muskerwil ini adalah titik temu antara ruh keulamaan, semangat kebangsaan, dan arah strategis masa depan Nahdlatul Ulama di Bali. Sebuah momentum penting yang menegaskan: NU tak sedang berjalan di tempat, ia sedang menata ulang peradaban dari akar yang paling dalam.
Acara diawali dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an, lantunan firman Ilahi yang mengalirkan hikmah ke ruang-ruang hati. Setelah itu, gema lagu kebangsaan Indonesia Raya dan mars Hubbul Wathon bergema gagah, dibawakan oleh mahasiswa ISTNUBA Denpasar. Dua lagu, dua identitas: cinta tanah air dan cinta kepada umat.
Ketua panitia, Ust. Khairan, M.Pd.I, membuka rangkaian sambutan dengan ungkapan syukur dan keyakinan. “Kita di sini bukan hanya untuk menyusun program, tapi menghidupkan kembali semangat berjam’iyyah dalam bingkai kebangsaan dan peradaban,” tegasnya.
Rois Syuriah PWNU Bali menyampaikan pesan reflektif sekaligus menggugah: warga NU kini terbagi dua, NU dhahiran dan NU bathinan. Yang pertama, hanya mengaku bagian dari NU, namun belum menyentuh ruh perjuangannya. Yang kedua, justru lebih membahayakan: mengaku NU, anaknya orang NU, tapi tak peduli, tak mau terlibat mengurus NU. “Ini bukan sekadar organisasi, ini warisan amanah dari para wali, kiai, dan pendiri bangsa,” ujarnya. Ia mengajak agar warga NU kembali memaknai ke-NU-annya secara utuh: lahir dan batin.
Sambutan Ketua Tanfidziyah PWNU Bali pun mengandung optimisme tinggi. Walau masa khidmat hanya tersisa beberapa bulan, ia berharap sisa waktu ini diisi dengan kegiatan yang maslahat dan berkah bagi masyarakat. “Mari kita akhiri masa khidmah ini dengan husnul khotimah,” serunya penuh semangat.
Perwakilan Gubernur Bali, yakni Kepala Kesbangpol Provinsi Bali, menyampaikan apresiasi kepada NU. Ia menilai NU bukan sekadar organisasi keagamaan, tapi entitas strategis yang konsisten hadir dalam setiap momentum penting kebangsaan, baik secara spiritual maupun sosial. NU telah memberi kontribusi nyata dalam merawat kerukunan di bumi Bali.
Puncak dari seluruh rangkaian adalah sambutan Ketua Umum PBNU, KH. Yahya Cholil Staquf. Dengan tegas dan lugas, ia menyatakan:
“Kehadiran saya di sini bukan anugerah, tapi kewajiban struktural. Ini adalah protap organisasi.”
Ia menegaskan bahwa Nahdlatul Ulama akan terus tampil terdepan dalam menjaga negeri dan paham Ahlussunnah wal Jamaah. NU, katanya, lahir dari semangat seluruh elemen bangsa. Negara ini adalah hasil konsensus luhur yang harus dijaga, karena itu adalah kredo ideologis NU: NKRI harga mati sampai akhir hayat.
Ia juga menyampaikan dua pesan spiritual penting: ittishal bil jasad (keterhubungan fisik) dan ittishal bil arwah (keterhubungan ruhani). “Doakan saudara-saudara kita, jalin kembali hubungan dengan pemerintah, dengan masyarakat, dengan semua lini. Peran NU adalah membantu, bukan melawan, selama itu demi kebaikan umat,” tegasnya.
Dalam semangat inovasi, PBNU juga mengembangkan sistem AI internal NU untuk membantu para admin dan pengurus dari tingkat pusat hingga ranting sebuah langkah futuristik di tengah era digital.
Sehari sebelum pembukaan, LBM PWNU Bali telah menggelar Bahtsul Masail di Masjid Baiturrahmah, Kampung Jawa, Denpasar. Diikuti oleh seluruh LBM PCNU se-Bali, forum ini membahas persoalan-persoalan masyarakat yang aktual dan kompleks. Alhamdulillah, kegiatan berjalan sukses, membuktikan NU tak hanya bergerak secara struktural, tapi juga intelektual.
Usai pembukaan, acara dilanjutkan dengan pengarahan dari PBNU yang diwakili KH. Maftuchan. Ia memaparkan arah Rencana Strategis NU ke depan, dalam konteks besar “Digdaya NU Menata Peradaban. Artinya, NU tak hanya memelihara tradisi, tapi juga harus unggul, tangguh, dan modern dalam mengawal masa depan bangsa, salah satunya dengan perencanaan Renstra yang matang,” ujarnya.
Muskerwil ini bukan sekadar forum musyawarah. Ia adalah nyala obor dari para pewaris peradaban, yang menerangi jalan umat dalam gelapnya zaman. Dari Denpasar, cahaya itu kembali menyala.